Sabtu, 27 Februari 2010

Korupsi, Ya, Korupsi



Korupsi, Ya, Korupsi

Oleh: Asnawin

(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria, Makassar)

Ada empat hukum dasar logika, yaitu hukum identitas, hukum kontradiksi, hukum tiada jalan tengah, dan hukum cukup alasan. ‘’Hukum identitas’’ menyebutkan bahwa sesuatu adalah selalu sama atau identik dengan dirinya sendiri. Menurut hukum ini, A adalah A dan bukan yang lainnya. Keberadaannya absolut. Contohnya, korupsi adalah korupsi, bukan yang lain.

Itu adalah sesuatu yang logis. Ketika ada penyimpangan atau pelanggaran hukum identitas, maka terjadilah sesuatu yang tidak logis. Korupsi misalnya, kalau dibelokkan menjadi salah prosedur atau kesalahan administratif maka ia menjadi tidak logis, karena awalnya ia adalah suatu perbuatan korupsi, namun kemudian dibelokkan sehingga menjadi bukan korupsi.

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan korupsi? Korupsi berasal dari Bahasa Latin, corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.

Korupsi cukup banyak definisinya. Salah satu di antaranya diutarakan Transparansi Internasional, dengan mengatakan korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik, yang dipercayakan kepadanya.

Secara hukum, definisi korupsi dijelaskan pada 13 pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001. ‘’Berdasarkan itu, korupsi dirumuskan dalam 30 bentuk, yang dikelompokkan ke dalam kerugian negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.’’

Pendapat lain mengatakan, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan (wewenang) publik untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok yang menjadi gantungan kesetiaan.

Dari berbagai definisi itu, dapat disimpulkan bahwa korupsi mengandung unsur-unsur melawan hukum, melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan yang ada pada pelaku korupsi karena jabatan atau kedudukannya, kerugian keuangan (kekayaan dan atau perekonomian) negara, serta memperkaya diri sendiri (orang lain dan atau korporasi).

Menurut Amien Rais (2008), korupsi itu ada dua macam. Pertama, korupsi biasa, mulai dari korupsi kecil-kecilan (petty corruption) hingga korupsi besar-besaran (grand corruption). Kedua, korupsi yang menyandera negara (state capture corruption atau state-bijacked corruption).

Beberapa kasus korupsi di Indonesia yang mencuat ke permukaan, ada yang berakhir dengan hukuman penjara, tetapi tidak sedikit juga yang akhirnya dianggap sebagai kesalahan prosedur atau kesalahan administratif.

Kasus pengucuran dana talangan triliunan rupiah oleh pemerintah untuk menyuntik bank bermasalah, memang dibolehkan selama semuanya berlangsung wajar, logis, dan sesuai aturan. Namun kalau ada indikasi ketidakwajaran, misalnya karena pemilik bank bersangkutan merampok uang di bank-nya sendiri sehingga bank tersebut bangkrut, lalu pemerintah yang turun tangan menyelamatkan bank tersebut, maka itu adalah sesuatu yang tidak logis. Karena tidak logis dan dianggap melanggar ‘’hukum identitas’’, maka sangat pantas kalau kemudian banyak yang mempersoalkannya, mulai dari rakyat biasa hingga wakil rakyat di parlemen.

Rasional dan Transparan

Hukum kedua dalam hukum dasar logika adalah ‘’hukum kontradiksi’’ yang menyatakan bahwa sesuatu pada waktu yang sama tidak dapat sekaligus memiliki sifat tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu itu. Misalnya, suatu perbuatan tidak mungkin secara bersamaan dianggap sebagai korupsi dan bukan korupsi.

Begitu pun seorang pejabat publik misalnya, tidak mungkin ia mengampanyekan perlunya pemberantasan korupsi lalu ia sendiri yang melakukan korupsi. Kalau pun terjadi, maka itu berarti menyalahi atau melanggar hukum kontradiksi dan karenanya perbuatan pejabat publik bersangkutan adalah tidak logis.

Hukum ketiga adalah ‘’hukum tiada jalan tengah’’ yang menyatakan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu itu, dan tidak ada kemungkinan ketiga. Hukum ketiga dalam hukum dasar logika ini merupakan kelanjutan dari hukum kedua. Hukum ketiga ini memberi landasan bagi kejernihan dan konsistensi dalam berpikir.

Misalnya pejabat publik yang mengampanyekan perlunya pemberantasan korupsi lalu ia sendiri yang melakukan korupsi karena sedang mencoba-coba sebagai kemungkinan ketiga, maka kemungkinan ketiga ini pasti ditolak.

Menurut ‘’hukum tiada jalan tengah’’, kemungkinannya hanya dua, yakni pejabat publik tersebut memang antikorupsi atau memang seorang koruptor. Tidak ada kemungkinan lain sebagai kemungkinan ketiga.

Hukum keempat atau hukum terakhir dalam hukum dasar logika adalah ‘’hukum cukup alasan’’, yaitu jika terjadi perubahan pada sesuatu, maka perubahan itu harus berdasarkan alasan yang cukup memadai dan cukup dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Indikator rasional menjadi penting karena kebenaran yang paling bisa dipertanggungjawabkan adalah kebenaran ilmiah.

Pengucuran dana talangan triliunan rupiah oleh pemerintah misalnya untuk menyelamatkan sebuah bank bermasalah, harus disertai argumentasi yang rasional, transparan, sekaligus cukup jelas bagi rakyat kebanyakan.

Hal tersebut perlu dilakukan karena dana talangan triliunan rupiah pastilah menggunakan uang negara yang berarti uang rakyat, apalagi kalau rakyat sudah terlanjur tahu dan kemudian terbentuk opini publik bahwa ada yang tidak logis dalam pengucuran dana talangan tersebut.

Penjelasan bahwa pengucuran dana talangan tersebut dilakukan karena dikhawatirkan akan terjadi dampak sistemik terhadap perbankan nasional, bukan merupakan penjelasan yang cukup alasan.

Penjelasan yang cukup adalah penjelasan yang komprehensif atau menyeluruh mulai dari penyebab bangkrutnya bank bermasalah tersebut, alasan dan dasar hukum pengambilan kebijakan pengucuran dana talangan, serta tindak lanjut terhadap pemilik bank yang merampok uang di bank-nya sendiri.

Pelanggaran atau penyimpangan terhadap keempat hukum dasar logika formal ini bisa jadi tidak menyebabkan seseorang atau sejumlah orang masuk penjara, tetapi seseorang atau sejumlah orang tersebut akan mendapat vonis ‘’tidak logis’’ dari orang dekat, keluarga, tetangga, dan atau publik.

Seseorang yang divonis ‘’tidak logis’’ akibat perbuatan korupsi misalnya, mungkin akan selamanya dianggap dan dikenang sebagai koruptor hingga mati, karena siapa pun tidak mungkin melakukan banding atau kasasi kepada semua orang yang telah menjatuhkan vonis ‘’tidak logis’’. Untuk menghindari vonis ‘’tidak logis’’, sebaiknya janganlah melawan atau melanggar hukum dasar logika.

- Keterangan: artikel ini dimuat Harian Fajar, Makassar, pada halaman 4, hari Kamis, 25 Februari 2010

[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda.]

Tidak ada komentar: