“Intinya adalah kejujuran. Kalau mau
jadi Guru Besar, jangan macam-macamlah. Boleh mengutip pendapat orang lain,
tetapi disebutkan sumbernya. Lalu gabung dengan pendapat orang lain lagi.
Setelah itu, lakukanlah analisa. Hasil analisa itulah karya Anda.”
-- Prof Supriadi Rustad --
(Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti Kemdikbud RI)
Guru Besar pun
Diminta Jujur
Ada apa sebenarnya dengan dunia
pendidikan kita? Mengapa begitu banyak aturan dan imbauan kepada para tenaga
kependidikan dan pengelola pendidikan? Mengapa masalah kejujuran selalu
disebut-sebut?
Bukankah dunia pendidikan, terutama
perguruan tinggi, sangat menjunjung nilai-nilai kejujuran dan intelektual? Yang
aneh, Guru Besar pun diminta jujur. Ada apa?
Sebagian jawaban atas berbagai pertanyaan itu, diungkapkan Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti Kemdikbud RI, Prof Supriadi Rustad MSi, kepada wartawan sesaat setelah menerima mandat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Koordinator Kopertis Wilayah IX Sulawesi, yang selama empat tahun sebelumnya dijabat oleh Prof Dr H Muhammad Basri Wello MA (2008-2012), di Kantor Kopertis Wilayah IX Sulawesi, Kamis, 25 Januari 2013.
Jumlah calon Guru Besar yang sudah masuk berkasnya pada Ditjen Dikti Kemdikbud RI, ungkap Guru Besar Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Semarang, sudah ratusan orang, tetapi banyak di antara mereka yang dikembalikan berkasnya karena tidak memenuhi syarat atau melakukan pelanggaran.
Setiap bulannya ada sekitar 20-30 berkas pengajuan calon guru besar, tetapi hanya sekitar 30 persen yang lolos dan memenuhi syarat, sedangkan 70 persen tidak lolos sehingga syarat harus dikembalikan.
Mengapa begitu banyak berkas calon Guru Besar yang tidak memenuhi syarat dan akhirnya dikembalikan?
Supriadi secara terus-terang mengatakan,
bahwa penyebab utamanya karena alasan pelanggaran etika dan profesionalisme,
seperti pemalsuan dokumen karya ilmiah.
Bentuk pemalsuan dokumen, antara lain pencantuman jurnal rakitan, jurnal "bodong", artikel sisipan, label akreditasi palsu, nama pengarang sisipan, buku lama sampul baru, dan nama pengarang berbeda.
“Intinya adalah kejujuran. Kalau mau jadi Guru Besar, jangan macam-macamlah. Boleh mengutip pendapat orang lain, tetapi disebutkan sumbernya. Lalu gabung dengan pendapat orang lain lagi. Setelah itu, lakukanlah analisa. Hasil analisa itulah karya Anda,” tuturnya.
Aturan Tambahan
dan Solusi
Dia mengatakan, Guru Besar memang berhak
mendapatkan tunjangan yang cukup besar, tetapi mereka diharapkan tidak menempuh
cara-cara yang tidak benar dan atau tidak jujur untuk mendapatkannya.
Lalu, apa yang dilakukan Dikti Kemdikbud
untuk meminimalisir dan memaksa para calon Guru Besar untuk berlaku jujur?
Ditjen Dikti, kata Supriadi, selama ini sudah berupaya menegakkan aturan-aturan yang berkaitan dengan usulan calon Guru Besar, tetapi pada 2013, ada aturan tambahan yang memaksa calon Guru Besar berlaku jujur.
Apa itu?
“Kalau selama ini para calon Guru Besar diwajibkan menulis dan mempublikasikan karya ilmiahnya pada jurnal nasional, maka pada 2013, mereka diwajibkan mempublikasikan karya ilmiahnya pada jurnal internasional,” tandasnya, seraya menambahkan bahwa pertimbangan paling mendasar dari pengetatan persyaratan itu berkaitan dengan karakter.
Sebagai Plt Koordinator Kopertis Wilayah IX Sulawesi, Supriadi juga meminta jajarannya menata penilaian calon Guru Besar dengan membentuk tim yang terdiri atas para Guru Besar dan mereka dilengkapi alat canggih untuk menyeleksi karya-karya ilmiah para calon Guru Besar.
“Jadi nggak boleh lagi bahwa setiap ada berkas calon Guru Besar langsung dikirim ke Dikti. Ya, diseleksi dulu, sehingga pekerjaan Dikti menjadi lebih ringan,” katanya.
Dosen S1
Pada kesempatan itu, Supriadi juga mengutarakan
keprihatinannya, karena jumlah dosen yang berijazah sarjana (S1) hingga kini
masih tergolong banyak. Khusus di lingkungan Kopertis Wilayah IX Sulawesi,
jumlah dosen yang masih berijazah S1 masih ada sekitar 30 persen dari total
sekitar 1.500 dosen yang terdaftar.
“Mereka tersebar di berbagai PTS se-Sulawesi,” paparnya.
Jika tidak melanjutkan kuliah ke jenjang magister (S2), kata Supriadi, maka mereka terancam “turun kasta” menjadi staf biasa di perguruan tinggi masing-masing atau dipensiunkan, baik dosen negeri maupun dosen tetap yayasan di perguruan tinggi swasta (PTS).
Ancaman tersebut terkait dengan UU Guru dan Dosen (pasal 46, ayat 2) yang mensyaratkan bahwa dosen harus memiliki kualifikasi akademik minimum lulusan program magister (S2) yang diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian. (asnawin)
@copyright Tabloid Almamater, edisi ke-4, Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar