UNIVERSITAS Andi Djemma (Unanda) Palopo, Sulawesi Selatan, termasuk salah satu PTS yang sementara dalam proses perubahan menjadi PTN. APTISI berharap semangat pemerintah untuk melakukan negerisasi hendaknya disertai dengan pemberdayaan PTS-PTS yang ada. (Foto: Asnawin)
Pemerintah Tak Harus Dirikan PTN Baru
Makassar, Tabloid Almamater.
Selain mendeklarasikan pembentukan Lembaga Akreditasi Mandiri – Perguruan Tinggi (LAM–PT), Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) juga mengeluarkan pernyataan sikap terhadap isu-isu terkini tentang pendidikan dan kebangsaan.
Pernyataan sikap dalam bidang pendidikan tersebut antara lain menyangkut pendirian perguruan tinggi negeri (PTN) baru, beasiswa mahasiswa, bantuan operasional perguruan tinggi swasta (BOPTS), perguruan tinggi asing (PTA), kelas jauh, pengajuan nomor induk dosen nasional (NIDN) baru, serta penghapusan izin operasional bagi PTS yang tidak melaporkan EPSBED.
Sementara dalam bidang kebangsaan, APTISI menyoroti masalah penyalahgunaan narkoba dan pentingnya “Gerakan Kam-pus Bersih Narkoba”, masalah korupsi yang sudah mencapai situasi “gawat darurat”, ancaman perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta pentingnya parpol, perguruan tinggi, dan masyarakat mencari dan mempromosikan orang-orang terbaik bangsa untuk menjadi figure pemimpin nasional yang kuat.
Ketua Umum APTISI Pusat Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc, mengatakan, peningkatan angka partisipasi kasar (APK) yang dilakukan dengan memperluas akses dan jaminan kepastian memperoleh pendidikan tinggi bagi masyarakat Indonesia, diharapkan tidak meninggalkan atau menafikan peran PTS.
“Semangat pemerintah untuk melakukan negerisasi hendaknya disertai dengan pemberdayaan PTS-PTS yang ada. Pemerintah tidak harus mendirikan PTN baru, tetapi bisa dengan cara memberdayakan PTS yang ada di daerah bersangkutan,” katanya kepada wartawan, di sela-sela acara Rapat Pleno Pengurus Pusat APTISI, di Hotel Sahid Makassar, Jumat, 15 Februari 2013.
Selain itu, pengalokasian beasiswa untuk mahasiswa kurang mampu dari daerah 3T (tertinggal, terpencil, terluar), juga dapat disalurkan kepada PTS.
“Bukan hanya kepada PTN,” tandas Edy yang didampingi Sekjen APTISI Pusat Prof Dr H Suyatno MPd, dan Ketua APTISI Wilayah IX-A Makassar Prof Dr Hambali Thalib SH MH.
-----
Perguruan Tinggi Asing
Menyangkut perguruan tinggi asing (PTA), APTISI menyatakan, keberadaan PTA untuk beroperasi dalam bentuk commercial presence (kehadiran fisik) di Indonesia dijamin oleh UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dengan berbagai persyaratan tertentu.
Persyaratan tersebut antara lain menyangkut akreditasi, daerah, jenis dan program studi, kewajiban bekerjasama dengan perguruan tinggi lokal, kewajiban merekrut dosen lokal, serta harus bersifat nirlaba dan keharusan mengembangkan ilmu yang mendukung kepentingan nasional.
“Keberadaan PTA tersebut hendaknya diposisikan statusnya sebagai Perguruan Tinggi Swasta Asing (PTSA) dan dijadikan partner bagi PTN dan PTS dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia,” tegas Edy.
Sebaliknya, timpal Suyatno, keberadaan PTA tersebut diharapkan tidak menyebabkan terpinggirkannya PTS.
“Oleh karena itu, PTS juga harus senantiasa meningkatkan kualitas dari waktu ke waktu,” katanya.
------
Kelas Jauh
Tentang praktek kelas jauh, APTISI menyatakan pemerintah memberlakukan aturan secara tidak adil, karena PTS yang melanggar dikenakan sanksi berat, sedangkan PTN yang melanggar tidak diberikan tindakan.
Aturan tersebut antara lain tertuang dalam Surat Edaran Dikti Nomor 1017/E/T/2011 tentang Perijinan dan Pelarangan Proses Pembelajaran di Luar Domisili Tanpa Ijin.
Sekjen APTISI Pusat Prof Suyatno mengatakan, PTS yang melanggar aturan tersebut diberikan sanksi berat berupa penghen-tian pelayanan, penghentian tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan Guru Besar, sehingga pencabutan izin program studi.
“Padahal, ada beberapa PTN yang melakukan pelanggaran dengan membuka kelas jauh di Sulawesi, Kalimantan Timur, dan beberapa daerah lain, tetapi belum ada tindakan dari Dirjen Dikti. Kami minta Dikti memperjelas batasan kelas jauh sesuai UU Dikti, serta mengimplementa-sikannya secara konsisten dan tidak diskriminatif,” tandasnya. (tim)
@copyright Tabloid Almamater, Makassar, Edisi ke-4, Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar