Kamis, 30 Januari 2014

Kampus, Citra, dan Realita


CITRA. Realita di lapangan ternyata berbicara lain. Tidak sedikit alumni PTN yang menjadi pengangguran atau bekerja pada bidang yang tidak sesuai ijazahnya. Sebaliknya, cukup banyak alumni PTS yang sukses dalam karier dan usahanya. Di sisi lain, banyak PTN yang ribut saat pemilihan rektor. Banyak PTN yang mahasiswanya sering melakukan aksi unjukrasa anarkis. Tidak sedikit gedung kampus PTN yang dibakar oleh mahasiswanya sendiri. (Foto: Asnawin)



-----------------------

Kampus, Citra, dan Realita


Lanskap: Asnawin

SEMUA anak sekolah yang berpikiran normal, pasti ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Umumnya mereka ingin kuliah di kampus ternama. Sebagian di antara mereka–terutama yang berasal dari kampung nan jauh dari kota–ingin kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN).

Kampus ternama tidak identik dengan PTN. Banyak orang kuliah di PTN bukan karena PTN pilihannya adalah kampus ternama, melainkan karena di sana ada label “N” alias Negeri.

Mereka masuk ke PTN karena citra atau gengsi. Mereka menganggap PTN lebih bagus dibanding perguruan tinggi swasta (PTS). Artinya, mereka mencari citra dan cenderung mengabaikan realita. Yang penting kuliah di PTN. Titik.

Bahwa proses perkuliahan di PTN kebanyakan masih menggunakan cara konvensional, sedangkan proses perkuliahan di PTS lebih kreatif dan inovatif, bagi mereka, itu bukan persoalan.

Banyak orang yang masuk ke PTN karena menganggap biaya kuliah di PTN lebih murah dibanding biaya kuliah di PTS, padahal kebanyakan yang harganya murah itu lebih rendah kualitasnya dibandingkan yang harganya mahal. Yang murah itu biasanya massal, sedangkan yang mahal itu biasanya eksklusif.

Masyarakat pada umumnya juga menganggap PTN lebih berkualitas dibandingkan PTS, padahal perguruan tinggi ternama di dunia umumnya adalah PTS. Tak satu pun PTN di Indonesia yang masuk daftar 500 perguruan tinggi terbaik di dunia.

Sebagian masyarakat–terutama yang tinggal di pedesaan atau kampung nan jauh dari kota–memilih kuliah di PTN, karena menganggap lulusan PTN lebih mudah atau lebih berpeluang diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dibanding lulusan PTS.

Artinya, sebagian mahasiswa menganggap kuliah bukan untuk mencari ilmu dan menjadi orang cerdas, melainkan untuk mendapatkan ijazah dan selanjutnya menjadi PNS. Dengan menjadi PNS, mereka mendapat gaji dan tunjangan setiap bulan, serta berbagai fasilitas lainnya dari pemerintah. Di hari tua, mereka juga masih mendapat gaji pensiun.

Sederhana dan aman. Ya, begitulah pola pikir sebagian masyarakat kita. Mereka tidak berpikir menjadi orang besar atau menjadi pengusaha kaya yang bisa mempekerjakan banyak orang. Mereka tidak dididik, tidak dibiasakan, dan tidak dilatih untuk berani menghadapi tantangan.

Tidak banyak pelajar yang memiliki cita-cita besar dan mempersiapkan diri meraih cita-cita besarnya itu.
Tidak banyak orangtua yang mempersiapkan anak-anaknya kuliah pada kampus ternama, khususnya di PTS, karena mereka terlanjur hidup dalam citra, bukan hidup dalam realita. Mereka terlanjur menganggap citra PTN lebih bagus dibandingkan PTS.

Realita di lapangan ternyata berbicara lain. Tidak sedikit alumni PTN yang menjadi pengangguran atau bekerja pada bidang yang tidak sesuai ijazahnya. Sebaliknya, cukup banyak alumni PTS yang sukses dalam karier dan usahanya.

Di sisi lain, banyak PTN yang ribut saat pemilihan rektor. Banyak PTN yang mahasiswanya sering melakukan aksi unjukrasa anarkis. Tidak sedikit gedung kampus PTN yang dibakar oleh mahasiswanya sendiri.

Ada pula Guru Besar atau profesor yang ketahuan melakukan plagiat karya ilmiah, dan juga ada profesor yang ditangkap KPK karena korupsi.

Sekarang terserah kepada kita semua. Kita selalu diperhadapkan kepada berbagai pilihan. Apakah kita ingin hidup dalam citra? Apakah kita mau membuka mata dan melihat realita di lapangan? Apakah kita punya cita-cita besar? Kita semua bebas memilih dan harus mengambil keputusan.***

@copyright Majalah Almamater, edisi ke-5, November 2013.

Tidak ada komentar: